Pahlawan Untuk Generasi Masa Depan

Foto: Gerardin Ferari
SUARA INDEPENDEN.COM, JAKARTA- Peristiwa 10 November” adalah hari dimana sejarah besar menandai bangsa Indonesia. Dimana waktu itu pada 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta dan pada 25 Oktober mereka mendarat di Surabaya. Tentara Inggris didatangkan ke Indonesia atas keputusan dan atas nama Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan yang ditahan Jepang, dan memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Tetapi, di samping itu, tentara Inggris juga memeliki tujuan rahasia untuk mengembalikan Indonesia kepada pemerintah Belanda sebagai jajahannya.

Pada kemudian hari, diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional. Hampir setiap 10 November kita selalu mengibarkan bendera satu tiang penuh. Upacara penghormatan pun dilakukan untuk memperingati hari Pahlawan. Seremonial tahunan ini menjadi satu refleksi bagi kita semua untuk mengenang jasa-jasa besar para pahlawan Indonesia yang dengan ikhlas mengorbankan segenap jiwa dan raga yang dimiliki sampai tetes darah penghabisan. Semua itu demi satu tujuan: Kemerdekaan! Merdeka dari penghisapan, merdeka dari penjajahan, dan merdeka dari penindasan kolonial. Soekarno pernah berkata “bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah lupa akan jasa para pahlawannya. Maka dari itu, jangan pernah sekalipun melupakan sejarah”.

Sebagaimana layaknya sebuah refleksi, peringatan hari pahlawan ini tak cukup sekedar kita memasang bendera satu tiang penuh dan mengikuti upacara kebesaran yang dipersiapkan, dihadiri para pejabat, didengarkan pidatonya, lantas selesai begitu saja tanpa ada satu nilai. Dan hal ini dari tahun ke tahun terasa semakin kurang dihayati dan menjadi kosong makna karena peringatan ini cenderung bersifat seremonial belaka.

Hal inilah yang secara kongkrit harus kita jawab bersama. Bangsa Indonesia saat ini membutuhkan pahlawan-pahlawan baru untuk mewujudkan kehidupan massa rakyat yang demokratis secara politik, adil secara sosial, sejahtera secara ekonomi, dan partisipatif secara budaya.

Pengalaman-pengalaman besar harus dijemput bukan hanya melalui analisa tapi juga karya-karya penting untuk menggugah kesadaran yang sudah lama terlelap. Di dunia pemikiran kita bukan sekedar membutuhkan gagasan-gagasan baru melainkan juga ‘alat baca’ yang berpihak atas massa rakyat yang tertindas. Intelektual adalah bagian dari arus massa tertindas dan sebaiknya mengerti, memahami, dan menyelami kehidupan mereka. Hal ini tak akan bisa dimengerti jika mengetahui kehidupan hanya sebatas kegiatan-kegiatan pelatihan, workshop, rapat, seminar, diskusi atau penelitian ‘pesanan’. Kegiatan itu hanya akan meningkatkan pendapatan bukan pemahaman atas kenyataan sosial. Membuang keyakinan lama mungkin jadi syarat utama menuju pada tugas serta mandat seorang intelektual terpelajar.

Sebuah keniscayaan memang apabila setiap jaman akan melahirkan anak jamannya masing-masing. Disinilah peran generasi muda tak pernah putus dari sejarah bangsa ini. Mereka tidak hanya mempunyai gagasan besar tentang perubahan, tidak hanya berhenti pada satu forum diskusi, tetapi ada satu tindakan riil bagaimana melakukan proses transformasi nilai terhadap massa rakyat yang tertindas. Jalan itupun mereka dapatkan dengan cara mengorganisasikan diri.

Tugas kita saat ini adalah memberi makna baru kepahlawanan dan mengisi kemerdekaan sesuai dengan perkembangan zaman. Saat memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan, rakyat telah mengorbankan nyawanya. Kita wajib menundukkan kepala untuk mengenang jasa-jasa mereka. Karena itulah hari Pahlawan harus kita peringati dan refleksikan.

Saat negara nasibnya terseok seperti sekarang dimana rakyat hidupnya diperas, perubahan hanya jadi menu diskusi, saat itulah maka gerakan progresif kaum intelektual terpelajar menjadi satu kebutuhan mendesak. Seorang terpelajar bukan semata-mata sosok yang mencintai pengetahuan, tapi bagaimana dapat dan mampu memberikan gagasan-gagasan tentang perubahan. Karena itulah, solusi-solusi baru dan tindakan konkrit untuk perubahan sosial mutlak dibutuhkan. Semoga ini bisa menjadi permenungan kita bersama –sebagai ‘intelektual terpelajar’– dalam merefleksikan peringatan hari Pahlawan dan mengisi kemerdekaan ini dengan penuh makna.

Seorang yang bisa di katakan Pahlawan adalah mereka yang mau mengorbankan apa yang dimilikinya baik itu harta, tenaga, dan pikiran (ilmu) untuk memberikan manfaat yang bisa dirasakan oleh orang-orang disekitarnya. Sosok pahlwan sendiri akan dirasakan keberadaannya karena telah memberi manfaat bagi lingkungannya sekalipun dia telah tiada, nama baik dan jasa-jasanya pasti akan selalu dikenang. Seperti peribahasa harimau mati meninggalkan belang, maka jika manusia mati meninggalkan nama. Nama bukan sekedar nama, melainkan ada jasa-jasa yang telah mereka lakukan tulus tanpa pamrih atas dasar ibadah dan menggapai ridho Allah.

Siapa pun bisa jadi pahlawan. Mau anak kecil, orang dewasa, petani, peternak, nelayan, pebisnis, guru, dosen, direktur, tukang bubur yang sudah naik haji 3 kali, tukang makroni, ataupun yang lainnya. Selama apa yang mereka lakukan bisa mendatangkan manfaat bagi lingkungan disektitarnya. Dan perlu kita ketahui, gelar pahlawan bukanlah didapat dari pengakuan diri sendiri. Melainkan didapat dari pengakuan orang-orang disekliling kita yang merasakan manfaat keberadaan kita disekitar mereka. Ingatlah, sebaik-baiknya manusia adalah yang bisa memberikan manfaat bagi sesamanya.  Jangan mengaku jiwa kesatria jika apa yang kita lakukan seringkali meminta imbalan. Jangan mengaku jadi pahlawan, jika gelar yang disandang berasal dari pengakuan pribadi :) 

Tidak ada suatu kebaikan lahir tanpa sebab. Setiap apapun yang kita lakukan pasti memiliki motif-motif tersendiri. Hal tersebut lahir karena kita memiliki motivasi dalam melakukan hal yang kita perbuat, dan motivasi itu sendiri terlahir karena kita memiliki kebutuhan. Kebutuhan setiap individu tentunya berbeda dengan yang lainnya. Terlepas itu semua, ketika kita melakukan kebaikan pun pasti dilakukan bukan tanpa sebab. Saat kita melakukan kebaikan, sebab utamanya bisa saja karena ibadah dan mencari keridhoanya atau pun karena ingin mendapat penilaian baik dari orang lain.

Jika hidup kita dan segala apapun yang kita lakukan hanya untuk mencari penilaian orang lain, maka sungguh sangat merugi dan melelahkan. Bukanya apa-apa, tetapi mana mungkin kita bisa mendapatkan penilaian sempurna dari manusia yang seringkali berbuat khilaf ataupun salah. Berbuat baik hanya karena ingin mendapat penilaian orang dan hanya karena dilihat oleh orang lian itu sungguh melelahkan. Bagaimana tidak, apa yang kita lakukan pun tidak akan optimal dan maksimal. Sebab ketika tidak ada orang yang menilai kita hanya berbuat sekedarnya saja tanpa melakukan yang terbaik.  Tetapi ketika ada mereka yang melihat dan mengawasi segala macam rasa malas mampu mereka lawan untuk meraih penghargaan dari orang lain. Sungguh sangat merugi dan melelahkan. Mudah-mudahan kita tidak termasuk orang-orang merugi.


Ditulis Oleh: Gerardin Ferrari
Lahir: Jakarta, 08 Januari 1993
Mahasiswa S2 Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta
Prodi: Ilmu Hukum


Kamis, 10 November 2016
Editor: Ginanda