Perampasan Lahan Petani dan Hak Adat Masyarakat Tani

Foto: Tika Dian Pangastuti, S.S
SUARA INDEPENDEN.COM, JAKARTA- Sebagai Negara agraris, Indonesia memiliki potensi yang besar dalam pengelolaan lahan. Dalam mengelola lahan secara potensial diperlukan suatu regulasi yang bertujuan untuk mengatur jalannya tata kelola yang efektif dan tepat guna. Tentunya dalam mengelola lahan tersebut kita tidak bisa melepaskan peranan dari seorang petani, yang lebih dulu memahami tata kelola lahan yang semestinya. 

Sebelum berbicara mengenai bagaimana proses penindasan dan perampasan hak masyarakat adat, alangkah baiknya kita menengok apa yang terjadi dalam kurun waktu lima tahun terakhir di Indonesia. Sebuah perampasan tanah menurut hemat saya sebuah persoalan yang cukup krusial untuk diatasi karena menimbulkan kemiskinan, yang juga kemiskinan secara ekonomi tetapi juga kemiskinan budaya, sebab hilangnya hubungan-hubungan yang erat antar manusia, tanah dan kebudayaannya.

Mengenai lahan petani dan hak adat masyarakat mengingatkan saya kepada sejarah lahirnya hukum agraria (Agrarische Wet) atau Hukum Pertanahan di Hindia Belanda yang intinya tanah diluar tanah-tanah partikelir dan juga tanah-tanah yang menguasai kerajaan-kerajaan seperti Surakarta, Yogyakarta, Cirebon, dan Banten adalah milik Belanda. Dengan bertumpu pada dasar hukum ini, pemerintah Belanda mempermudah penerapan kebijakan dalam kaitannya dengan hak penguasaan atas tanah penduduk pribumi (domein). Lalu mendorong Gubernur Jenderal saat itu dilarang menjual tanah kerajaan kepada swasta. Yang diperbolehkan adalah menyewakan dalam jangka waktu 75 tahun. Sementara tanah-tanah penduduk disewakan kepada pengusaha swasta dalam jangka panjang. Terlebih setelah Daendels datang ke pulau Jawa, hukum Belanda mulai berlaku, dengan pengadaan kuli-kuli kontrak untuk membangun jalan raya Anyer-Penarukan. Banyak penderitaan yang terjadi akibat pemberlakuan regulasi hukum Belanda atas kepemilikan tanah. 

Kemudian pada sekitar tahun 1960 di Indonesia, mulai diberlakukan UU Pokok Agraria no 5 tahun 1960, yang pada kenyataannya peraturan pemerintah untuk melakukan  hak masyarakat atas tanah tidak pernah dilakukan hingga hari ini. Masyarakat adat masih harus berjuang untuk mendapatkan pengakuannya. Perjuangan masyarakat adat mulai dilakukan pasca reformasi. Namun ini bukanlah hal yang mudah untuk memperjungkannya karena sistem tradisional tidak mendapat tempat yang semestinya untuk berdiri hingga kini. Terbukti masih banyaknya tanah adat yang tidak diakui demikian dengan tata pengelolannya yang tidak melibatkan masyarakat petani. 

Ketika masyarakat adat sedang memperjuangkan tanah kepemilikannya, sering kali aparat menggunakan alat-alat negara seperti pihak kepolisian dan bala tentara untuk menggunakan kekerasan apabila masyarakat tidak mau tunduk atas peraturan melalui rancangan Undang-undang pertanahan. Masalahnya adalah sudah banyak peraturan daerah dan nasional yang diubah demi menguntungkan para pemilik modal serta menyingkirkan masyarakat adat. Semestinya pemerintah perlu serius untuk memberi jalan keluar atas permasalahan tanah yang sering timbul tenggelam dalam kurun waktu dasawarsa ini. 

Berbagai kasus sering terjadi dalam masyarakat dengan berbagai masalah, diantaranya yang paling menonjol adalah persoalan sengketa pertanahan antara masyarakat versus perkebunan yaitu tentang penggarapan baik yang mempunyai izin maupun penggarapan secara liar oleh masyarakat. Disamping itu penggusuran masyarakat di atas tanah sengketa baik oleh pemerintah maupun oleh pihak perkebunan baik secara paksa maupun ganti rugi tetapi bentuk dan besarnya ganti rugi yang diberikan oleh perkebunan kepada rakyat dinilai tidak layak. Bahkan proses ini banyak yang menjadikan rakyat lebih miskin dari sebelumnya, karena uang ganti rugi itu tidak cukup untuk membeli lahan baru atau untuk mencari nafkah sesuai dengan keadaan semula. Dengan demikian dari sudut ekonomi tindakan tersebut sangat merugikan bagi rakyat. Rakyat terpaksa menyingkir dari lahan yang telah dibebaskan untuk kepentingan tanaman perkebunan dan harus mencari lahan baru yang tidak sesuai dengan tuntutan penanaman tanaman pangan mereka.

Pola sengketa berkisar antara rakyat dan pemerintah atau rakyat dan perkebunan (yang didukung oleh orang-orang pemerintah) mengenai penguasaan atas tanah; antara rakyat dengan pihak perkebunan serta kehutanan mengenai tanah garapan antara rakyat dengan rakyat itu sendiri mengenai masalah kepemilikan, penggarapan, warisan dan sewa menyewa. Sengketa tersebut diantaranya karena manipulasi pejabat atau perantara-perantara yang menjadi kaki-tangan perusahaan perkebunan sejak zaman kolonial.

Sebenarnya masalah utama agraria di Indonesia adalah konsentrasi kepemilikan, penguasaan dan pengusahaan sumber-sumber agraria baik tanah, hutan, tambang dan perairan di tangan segelintir orang dan korporasi besar, di tengah puluhan juta rakyat bertanah sempit bahkan tak bertanah. Ironisnya, ditengah ketimpangan tersebut, perampasan tanah-tanah rakyat masih terus terjadi. Sebab orientasi kebijakan pertanahan saat ini cenderung bercorak kapitalis, sementara dasar kebijakan pertanahan yang ada dan masih diakui adalah UUPA (undang-undang pokok agraria) yang bercorak kerakyatan (hukum adat). Menurut Suhendar (1996) dalam konteks yang demikian terjadilah inkonsistensi kebijakan. Disatu pihak, Pemerintah secara yuridis mengacu pada UUPA, sementara substansi kebijakan yang diambil Pemerintah berbeda bahkan bertentangan dengan jiwa dan semangat UUPA itu sendiri. 

Selain itu minimnya pengetahuan masyarakat akan hak-hak keperdataannya juga menjadi faktor serius penyebab hilangnya hak adat masyarakat tani itu sendiri. Adapun hak keperdataan seperti; hak adat, atas tanah, hak atas pelayanan administrasi pertanahan dll nya. Tak ayal setiap saat masyarakat selalu dibenturkan dengan pihak terkait untuk silang sengketa dalam beberapa kasus kepemilikan. Yang tidak diinginkan dari tindakan ini biasanya berujung selisih paham dan berakhir dengan baku hantam. Ini tentu sangat menyedihkan! 

Seandainya peran akademis dan kaderisasi pengabdian masyarakat berjalan dengan memberikan arahan dan pengetahuan pada masyarakat, niscaya masyarakat tani dan adat akan memahami peran dan posisinya dalam mempertahankan wilayah adatnya sendiri. Tidak ada lagi kepentingan diatas kepentingan, selain kata asas mufakat. 

Hidup Petani!!!

Ditulis Oleh: Tika Dian Pangastuti, S.S
Lahir: Jakarta, 23 Mei 1993
Alumni Sastra Inggris Universitas Pamulang (UNPAM).


Kamis,  11 Januari 2017
Editor: Ginanda