Strategi Jokowi Genjot Ekonomi Tumbuh di Atas 6%

Foto: Presiden Jokowi
SUARA INDEPENDEN.COM, JAKARTA- Pemerintah kabinet kerja baru saja melakukan sidang kabinet paripurna di Istana Negara yang dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Sidang kabinet paripurna ini membahas mengenai kapasitas fiskal dan pagu indikatif RAPBN Tahun 2018, dan peningkatan peringkat Ease of Doing Business (EODB) Tahun 2018.

"Ya kita masih membahas untuk tahun 2018, pertama dilihat tahun 2017 ini bagaimana kemungkinan perkembangannya, baik dari sisi ekonomi maupun dari sisi APBN," kata Sri Mulyani di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (15/3/2017).

Sri Mulyani mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi pada 2017 dianggap bisa lebih tinggi dari realisasi di tahun-tahun sebelumnya. Dari asumsi yang sebesar 5,1% naik menjadi 5,2% bahkan ada yang optimis mencapai 5,3%.

"Kemudian dari sisi harga minyak sudah tinggi dari US$ 45 per barel, kita lihat inflasi adalah faktor yang bapak presiden menekankan supaya tetap dijaga apabila harga pangan tetap stabil, tapi ini ada tekanan yang cukup riil dari inflasi, kemudian kurs juga karena inflasi kita relatif lebih tinggi mungkin akan alami tekanan," tambahnya.

Dengan perkiraan situasi di 2017, Sri Mulyani juga memaparkan soal perekonomian 2018. Di mana, bagaimana pemerintah merancang lebih awal APBN dengan target pertumbuhan yang lebih tinggi.

"Katakan lah sampai 6,1% tapi range-nya tadi 5,4-6,1%, maka apa langkah-langkah yang harus dipenuhi agar target tersebut bisa dicapai. Bapak Presiden menekankan tersebut. 5,4-6,1% kan range-nya masih sangat besar, sangat tergantung dari perkembangan 2017 sampai semester I nanti kita lihat," jelasnya.

Guna mencapai perekonomian 2018 tersebut, akan ditopang oleh investasi yang lebih besar lagi. Sri Mulyani mengungkapkan, bahwa target pertumbuhan investasi harus di atas 8% dengan mengandalkan swasta, BUMN.

Dari risikonya sendiri, lanjut Sri Mulyani, pemerintah akan tetap memberikan perhatian terhadap defisit anggaran pada 2018 pada kisaran 2,2% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

"Pemerintah dalam hal ini tidak hanya memperhatikan defisit total, tetapi seperti yang saya sampaikan primary balance turun ke 0,5%, jadi ini sesuatu yang harus kombinasikan penerimaan negara harus tumbuh tax ratioharus capai 11% dan kemudian belanja semakin terfokus pada hal produktif," tukasnya