Refleksi HMI Cabang Ciputat untuk 72 Tahun Republik Indonesia Merdeka

Foto: M. Zainuddin asri

SUARA INDEPENDEN. COM - Sejarah mencatat, Soekarno-Hatta pernah memproklamirkan kemerdekaan sebuah 'nation-state' bernama Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dengan mengatasnamakan 'bangsa Indonesia'. Sejak itu pulalah sebuah gerakan revolusi sosial terjadi. Negara baru tersebut kemudian menata dirinya, memperlengkap segala suprastruktur, infrastruktur, dan segala pranata sosialnya.

Telaah kritis perlu kita lakukan sejenak, sebuah negara (state) sudah barang tentu beralaskan sebuah bangsa (nation), 'kebangsaan Indonesia' inilah yang perlu kita diskusikan secara mendalam, karena bagaimanapun tidak ada negara yang mendahului bangsa itu adalah thesis dasarnya. Ernest Renan berpendapat bahwa bangsa ialah satu jiwa yang melekat pada sekelompok manusia yang merasa dirinya bersatu karena mempunyai nasib dan penderitaan yang sama pada masa lampau dan mempunyai cita-cita yang sama tentang masa depan. Senada dengan Renan, Otto Van Bauer juga berpendapat bahwa bangsa ialah suatu kelompok manusia yang memiliki karakter “watak” yang sama yang terbentuk karena adanya perasaan senasib yang sama.

Dari dua pendapat Renan dan Bauer diatas ada satu kata kunci penting yakni "kesamaan nasib", karena kesamaan nasib tersebut maka konsekuensi logisnya ada pula kesamaan visi atau cita-cita, sama-sama ingin melawan penindasan misalnya. Dari dua pendekatan diatas maka, bangsa bukanlah sesuatu yang kongkrit, melainkan absrtaksi pikiran, yang menjadi imaji bersama. Atas dasar itulah rasa kebangsaan Indonesia terbentuk, yang kemudian hari nasionalisme Indonesia digunakan oleh para tokoh pergerakan untuk melawan kolonialisme.
Ditilik dari sejarah, nasionalisme Indonesia terkristalisasi oleh cita-cita untuk merdeka dari penindasan kolonialis—selain daripada faktor kesamaan kultural. Merdeka secara sederhana ialah terlepas dari segala bentuk perhambaan dan penjajahan, merdeka berarti menjadi diri sendiri. Maka cita-cita dasar dibentuknya Negara Republik Indonesia ialah kemanusiaan—dimana ide tentang nilai-nilai kemanusiaan ini termaktub pula dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Setelah kita melihat beberapa hal yang menjadikan kita sebagai Bangsa Indonesia, mari kita refleksikan kondisi Bangsa Indonesia saat ini. Jika alas kebangsaan kita adalah kesamaan nasib (karena sama-sama dijajah) dan kesamaan cita-cita (karena sama-sama ingin merdeka) pada masa-masa sebelum 17 Agustus 1945, maka masih relevankah kita disebut sebagai suatu bangsa? Saat ini kita tidak mengalami kesamaan nasib seperti yang dikemukakan Renan dan Bauer, pasalnya gap antara yang kaya dan miskin terlalu jauh, masih banyak daerah-daerah tertinggal (utamanya daerah-daerah di ujung barat Indonesia dan ujung timur Indonesia yang jauh dari Ibu Kota negara)—hal ini pula lah yang menjadi salah satu faktor pemberontakan di Aceh dan Papua).

Pemerintah memang kerap mengkampanyekan kemajuan pembangunan nasional, namun agaknya itu hanyalah retorika dan angka statistik semata. Secara de facto ketimpangan sosial terjadi hampir merata di seluruh penjuru negeri. Hal-hal inilah yang kerap menimbulkan konflik horizontal antara berbagai kelas sosial di masyarakat. Konflik diatas seolah "tidak menghiraukan" nasionalisme dan persatuan, karena urusan perut adalah hal yang sehari-hari dihadapi oleh sebagian besar Rakyat Indonesia. Jargon nasionalisme bukan lagi menjadi pemantik ide pergerakan, melainkan hanya baliho-baliho besar yang dibuat pemerintah sebagai retorika politik jelang 17 Agustus, atau hanya sekedar pernak-pernik merah putih sebagai penyemarak. Begitukah kita memaknai hari kemerdekaan?

Hari kemerdekaan 17 Agustus haruslah menjadi momentum pengingat akan sebuah perlawanan terhadap penindasan, terhadap ketimpangan sosial. Bahwa alas kebangsaan. 
kita adalah kemerdekaan: memanusiakan manusia! 


Ditulis Oleh: M. Zainuddin Asri
Ketua Umum Cabang HMI Ciputat


Kamis, 17 Agustus 2017
Editor: M. Rifai