AMSA: Dukung Pemerintah Hentikan Kontrak Dengan Freepot

Foto:  Sarief Saefulloh
SUARA INDEPENDEN.COM, JAKARTA- Keberadaan PT Freepot Indonesia (PTFI) tidak berdampak besar pada ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat, padahal kurang lebih 25 tahun sumber daya alam banyak dimanfaatkan Freepot tapi nilai manfaat terhadap bangsa dan negara tidak sebanding dengan keutungan yang di dapatkannya. Negara tidak boleh membiarkan hal ini terjadi lagi dan tidak ada bahasa korporasi itu otonom. Kedepan pengawasaan, penegakan hukum hingga pemberhentian kontrak harus berani dilakukan, karena Negaralah pemilik kekayaan alam Indonesia, 

PT Freepot Indonesia merupakan perusahaan tambang amerika yang berafiliasi pada Freepot-McMoran, telah berada di Indonesia sejak tahun 1967 silam masa order baru (pemerintahan Presiden Soeharto), era ini lah menjadi awal di tanda tanganinya Kontrak Karya dan terakhir januari 2017 lalu. Pemerintahan JKW melangkah cepat untuk meniadakan Kontrak Karya dengan adanya perubahan peraturan pemerintah yang lebih konsitutif dan menguntungkan negara yaitu terbitnya PP No 1 tahun 2017 yang memberikan penguasaan, pengelolaan dan pengaturan oleh negara terhadap kekayaan Indonesia. 
Peraturan Pemerintah ini menuai kritik dan kecaman dari Freepot, yg dinilai bertentangan dengan Kontrak Karya yang berkahir hingga 2021.  Freepot menganggap dalam Peraturan Pemerintah No 1 tahun 2017 merugikan Freepot sebagai perusahaan tambang, seperti pajak yang prevailing, divestasi saham 51 persen  dimiliki pemerintah, posisi pemerintah dan korporasi berbeda (pemerintah sebagai pemberi ijin dan Freepot pemegang ijin), Pembangunan Smelter,  Pemerintah mengatur tentang harga patokan penjualan mineral dan batubara, Freepot pun mengancam akan memperkarakan perubahan ini ke Mahkamah Arbitrase International. 

"Freepot tidak tahu diri dan tidak punya malu, sudah melanggar hukum, merugikan negara mengancam pula" pemerintah harus berani memberhentikan kontrak dengan Freepot, ini bukan masalah sepele ini masalah kedaulatan bangsa"

Perusahaan tambang asal Amerika ini menginginkan tetap memakai Kontrak Karya sebagai acuan dan aturan bisnis kedua belah pihak. Memang dalam Kontrak Karya posisi antara pemerintah dan Freepot seimbang, pajak nail down dan lain-lain, aturan ini banyak menguntungkan Freepot dan merugikan Pemerintah. Dalam regulasi pemerintah tidak diuntungkan bahkan banyak terjadinya wanprestasi oleh Freepot dalam Kontrak Karya. Seperti pembangunan smelter sampai sekarang tidak rampung, apalahi beroperasi, saham kepemilikan negara hanya 9,3 persen, pajak nail down (tidak berubah sampai KK selesai), retribusi kepada negara 8 Triliun pertahun berbeda jauh denga  telkom  sebesar 20 Triliun, cukai rokok 139 Triliun. jelas lah negara banyak dirugikan dengan adanya Kontrak Karya. Sebagai perusahaan tambang sepatutnya Freepot mengikuti regulasi yang ada bukan mendikte kedaulatan negara. 

Untuk itu, AMSA (Asian Muslim Students Association) sebagai organisasi yang peduli terhadap bangsa dan negara menilai kebijakan pemerintah sudah tepat dalam pemberlakuan PP no 1 tahun 2017 terhadap Freepot dan tidak usah ada perundingan kembali, karena posisi negara bukan berbisnis tapi pemilik bisnis, bukan mencari untung tapi pemilik keuntungan, maka siapapun yang mau berbisnis di negeri ini harus mematuhi hukum yang berlaku, jika tidak mau dipersilahkan untuk keluar dari negeri ini. 

Sebagai negara berdaulat, pemerintah harus berani memberhentikan korporasi yang merugikan dan tidak mentaati aturan hukum negara"  dengan adanya Peraturan Pemerintah No 1 tahun 2017 memberikan ruang cukup luas untuk negara dalam menguasi kekayaan alam Indonesia. Sebagaimana amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 3 menjelaskan bahwa "bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jelas dan tegas tidak ada alasan pemerintah untuk tidak melaksankan amanat konsitusi sebagai hukum tertinggi. 

Ditulis Oleh: Sarief Saefulloh 
(VICE PRESIDENT AMSA (Asian Muslim Students Association)


Jumat, 24 Februari 2017
Editor: M.Tarmizi